Eka Kurniawan: Kutipan dari „Lelaki Harimau“

Dua

Harimau itu putih serupa angsa, ganas sebengis ajak. Mameh pernah melihatnya suatu kali, sejenak, keluar dari tubuh Margio, seperti bebayang. Sebelumnya tak pernah ia melihat itu, pun setelahnya. Hanya satu pertanda bahwa harimau itu masih ada di sana, dan Mameh tahu, meski ia tak tahu apakah orang lain tahu. Pertanda itu hanya tampak di dalam gelap, di mata Margio, yang mendadak berkilau kuning, serupa milik kucing. Awalnya Mameh takut melihat mata itu, dan lebih cemas harimaunya sungguh keluar dari sana, namun bersama berlalunya waktu, dan sebab terlampau sering melihat sepasang cahaya dalam gelap itu, ia tak lagi cemas. Itu bukan musuhnya, ia tak akan melukainya, dan sebaliknya, barangkali harimau itu ada di sana untuk melindungi mereka.

Margio sendiri menemukannya suatu pagi, kala terbangun dari tidur seorang diri di surau, berminggu lalu sebelum ia minggat. Bukan kopi hangat mengepul di atas tatakan, bukan pula sepiring nasi goreng sarapan pagi, tapi seekor harimau putih rebah di sampingnya, tengah menjilati kakinya sendiri. Ia terbangun disebabkan ekor si harimau yang menari, menyapu kali telanjangnya, dan sejenak ia pikir itu tepukan tangan Ma Soma membangunkannya, mengajaknya salat Subuh. Tapi ternyata hari telah pagi, dan di luar hujan turun dengan wajah semesta yang kelabu, nyata semalam hujan besar dan tak ada orang datang di kala subuh. Tentu saja ia rada terkejut, demikian terguncangnya hingga apa yang bisa ia lakukan hanya diam tercekat, dan memandang takjub pada binatang gempal yang iseng sendiri itu.

Ia tahu binatang ini tak sungguh-sungguh hidup. Sepanjang dua puluh tahun hidupnya, ia telah keluar masuk rimba raya di pinggiran kota, dan tak pernah menemukan harimau semacam itu. Ada harimau pohon yang kecil, ada babi, dan ada ajak, tapi tak ada harimau putih hampir sebesar sapi. Itu mengingatkan dirinya pada kakeknya, bertahun-tahun lampau. Matanya dibikin berkaca-kaca, dan tangannya terulur perlahan, mencoba meraih kaki depan si harimau. Benda itu sungguh-sungguh ada di sana, dengan bebulu selembut kemoceng, kuku-kukunya tersembunyi pertanda suatu tawaran bersahabat, dan kaki terangkat, tangan Margio meraihnya lagi, dan kaki si harimau menepuk kecil, serupa anak kucing genit bermain-main. Margio meraihnya gesit, namun si harimau menghindar berguling, lalu mengambil kuda-kuda, siap menyerang, sebelum Margio sempat menghindar, ia telah menubruknya, dan di sana mereka berguling-guling dan hanya karena Margio tak sanggup menahan beban binatang itu mereka berhenti. Margio masih berbaring, si harimau kembali menjilati kakinya, bersimpuh di sampingnya. Lembut Margio menepuk bahunya, sambil menyapa.

„Kakek?“

Sumber: Eka Kurniawan: Lelaki Harimau Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
(ISBN: 2015 978-602-03-2220-9 )