Archiv der Kategorie: Texte

Sembilan Nyawa Nawadru: Eine Kurzgeschichte von Triyanto Triwikromo

Am 30. Januar 2022 veröffentlichte die indonesische Tageszeitung Kompas die Kurzgeschichte „Sembilan Nyawa Nawadru“ (Die neun Leben des Nawadru) von Triyanto Triwikromo, den wir auch hier in unserem Blog vorstellen. Freundlicherweise haben Mas Triyanto Triwikromo und die Zeitung uns den betreffenden Ausschnitt zur Verfügung gestellt.

Am Tag vor Nawadrus Tod glaubten die Mörder noch, dass der Mann, welcher als der spirituelle Lehrer von Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo galt, neun Leben habe und unter dem Schutz der Tiere des Waldes auf dem Weg zum Gipfel des Berges Wisaula sei. Zuvor hatte es einen Befehl des Kommandanten gegeben: Fangt oder tötet Nawadru. Wenn Nawadru stirbt, stirbt auch Kartosoewirjo…

Wir wünschen viel Spaß beim Lesen dieser mystischen Kurzgeschichte, zu der es bis jetzt noch keine Übersetzung ins Deutsche gibt!

Stefan Zweig: Kalut

“Barang siapa sudah memiliki, ia akan diberi.” Pepatah bijak itu boleh jadi hiburan tersendiri bagi setiap penulis dalam kaitannya dengan urusan menguatkan hati. “Barang siapa menceritakan banyak hal, ia akan diceritai banyak hal.” Tak ada yang lebih keliru daripada sangkaan umum tentang penulis yang konon bekerja terus-menerus mengandalkan khayalan belaka. Penulis dianggap terus-menerus menemukan berbagai peristiwa dan cerita dari sebuah sumber. Padahal, dalam kenyataannya, alihalih menemukan, si penulis hanya butuh mendapat ruang untuk ditemukan sendiri oleh tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang akan terus mencarinya sebagai pencerita, sejauh ia memiliki kemampuan yang terus berkembang dan terjaga baik dalam melihat
dan mendengar. Orang yang seringkali berusaha menafsirkan jalan nasib orang lain juga tak jarang didatangi orang-orang yang malah ingin menceritakan sendiri jalan nasib mereka.

Hal semacam itu terjadi pula pada cerita yang hampir seluruhnya kuceritakan kembali di sini. Cerita yang dipercayakan kepadaku dengan cara amat tak disangka-sangka. Kala itu malam terakhirku di Wina. Aku sangat kelelahan karena bermacam-macam urusan lalu mencari sebuah restoran di pinggiran kota. Kukira restoran itu akan sangat ketinggalan zaman dan sedikit dikunjungi orang. Namun, begitu aku masuk, aku dibuat
kesal oleh dugaanku yang meleset. Tepat di depan meja pertama, seorang kenalan menyambutku dengan keriangan tulus yang tampaknya tak dibuat-buat. Meski begitu, aku tak membalas sambutannya dengan ketulusan serupa. Orang itu mempersilakanku
duduk di sampingnya.

Aku tak bisa begitu saja jujur mengatakan si lelaki antusias itu orang tidak baik dan tidak menyenangkan. Ia termasuk jenis makhluk yang selalu terobsesi menambah daftar pergaulan, sosok yang dengan giatnya mengumpulkan kenalan lalu dengan
bangganya memamerkan daftar koleksinya itu, tak ubahnya anak-anak yang bangga pada koleksi prangko mereka. Bagi sosok eksentrik nan baik hati dengan profesi sampingan juru arsip seperti dirinya, makna hidup seutuhnya cukup terdefinisikan
dengan kepuasan hati atas sederet nama yang terkadang muncul di surat kabar. Dengan kepercayaan diri bernada kesombongan, ia bisa berkata: “Oh, ia kawan karibku” atau “Oh, aku baru saja bertemu dengannya kemarin” atau “Temanku A berkata padaku dan temanku B berpendapat”, dan terus saja sampai abjad terakhir. Ia bisa dengan mudah dipercaya orang lain saat membicarakan premier film yang melibatkan kawan-kawannya, menelepon setiap aktris keesokan harinya untuk mengucapkan selamat, tak pernah melupakan hari ulang tahun siapa pun, tak
mengatakan apa pun tentang berita tak menyenangkan di surat kabar, dan mengirimkan berbagai bentuk perhatian ramah-tamah kepada seseorang yang dikaguminya. Ia juga bukan orang tidak baik karena ia menunjukkan rasa senang tak dibuat-buat saat seseorang meminta bantuan kecil padanya atau saat ada kesempatan
berkenalan untuk memperbanyak daftar koleksinya.

Tak ada pentingnya bagiku menjabarkan panjang lebar tentang si kawan berjuluk “Adabei” itu. Julukan yang orang-orang Wina biasa berikan pada jenis parasit berkelakuan baik macam dirinya, parasit yang terbiasa menempel di antara berbagai macam perkumpulan orang-orang beromong besar. Semua orang tahu manusia jenis ini dan semua orang juga tahu tak ada cara tanpa kekasaran untuk menghindarkan diri dari sikapnya yang sebetulnya tak berbahaya dan bahkan terkadang mengharukan.
Tak punya daya untuk menolak, akhirnya aku duduk bergabung dan menghabiskan tiga perempat jam mengobrol dengannya hingga seorang lelaki masuk restoran. Orang itu berperawakan tinggi dan menarik perhatian. Wajahnya berona segar dan tampak
awet muda dengan sentuhan keabuan di kedua pelipisnya, cara berjalannya segera mengisyaratkan dirinya sebagai seorang mantan anggota militer. Dengan keantusiasan khasnya, kawan di dekatku segera bangkit menyapa lelaki itu. Ternyata, ia malah
disambut dengan gestur yang lebih pantas disebut acuh tak acuh daripada sopan. Tamu baru itu tampak tak terburu-buru memesan sesuatu pada si pelayan restoran yang terus menawarinya. Si Adabei mendekat padaku dan berbisik: “Apa kau tahu siapa
dia?”

Karena tahu perasaan bangganya dengan setiap koleksi yang pasti akan dipamerkannya, aku khawatir si Adabei akan bicara sangat lama dan tak berhenti menjelaskan segala macam soal orang itu, aku segera menjawab ketus “tidak”. Aku lanjut memotong kue di depanku. Namun, sikap acuh tak acuhku malah membuat si calo nama itu semakin bersemangat. Ia menggunakan tangannya untuk menutup bisikannya padaku: “Kau harus tahu, ia itu Hofmiller, seorang jenderal, ia mendapatkan ordo Maria Teresa pada masa perang.” Karena ceritanya itu tak juga membuatku terkejut dengan cara yang ia harapkan, dengan semangat menggebu dan seperti buku pelajaran patriotik, ia mulai menceritakan prestasi gemilang si Kapten Kavaleri Hofmiller di medan perang. Pertama-tama, tentang kisahnya di pasukan kavaleri,
lalu tentang pengintaian udara di atas Sungai Piave yang kala itu sang kapten berhasil mengarahkan tembakan ke tiga pesawat seorang diri, dan terakhir kisah saat bertugas di korps senapan mesin, lalu berhasil menduduki garis depan selama tiga hari. Di setiap detail ceritanya (yang tidak aku sertakan di sini), Adabei selalu memperlihatkan kekaguman tak terbatas pada si manusia agung yang kisahnya baru kudengar. Bahkan, Kaisar Karl secara pribadi menyematkan tanda jasa kehormatan yang
paling jarang diberikan kepada tentara Austria.

Sumber: Stefan Zweig: Kalut. Diterjemahkan oleh Tiya Hapitiawati. Taman Moooi Pustaka, 2020 (ISBN: 978-623-90185-9-7 (cetak) ISBN: 978-623-93966-1-9 (elektronik)); Taman Moooi Pustaka (read@moooipustaka.com; moooipustaka.com Yogyakarta · Jakarta)

Stefan Zweig: Ungeduld des Herzens

»Wer da hat, dem wird gegeben«, dieses Wort aus dem Buche der Weisheit darf jeder Schriftsteller getrost in dem Sinne bekräftigen: »Wer viel erzählt hat, dem wird erzählt.«
Nichts Irrtümlicheres als die allzu umgängliche Vorstellung, in dem Dichter arbeite
ununterbrochen die Phantasie, er erfinde aus einem unerschöpflichen Vorrat pausenlos
Begebnisse und Geschichten. In Wahrheit braucht er nur, statt zu erfinden, sich von
Gestalten und Geschehnissen finden zu lassen, die ihn, sofern er sich die gesteigerte
Fähigkeit des Schauens und Lauschens bewahrt hat, unausgesetzt als ihren
Wiedererzähler suchen; wer oftmals Schicksale zu deuten versuchte, dem berichten viele ihr Schicksal.

Auch dieses Begebnis ist mir beinahe zur Gänze in der hier wiedergegebenen Form
anvertraut worden und zwar auf völlig unvermutete Art. Das letzte Mal in Wien suchte
ich abends, von allerhand Besorgungen abgemüdet, ein vorstädtisches Restaurant auf,
von dem ich vermutete, es sei längst aus der Mode geraten und wenig frequentiert. Doch kaum eingetreten, wurde ich meines Irrtums ärgerlich gewahr. Gleich von dem ersten Tisch stand mit allen Zeichen ehrlicher, von mir freilich nicht ebenso stürmisch
erwiderter Freude ein Bekannter auf und lud mich ein, bei ihm Platz zu nehmen. Es
wäre unwahrhaftig, zu behaupten, daß jener beflissene Herr an sich ein unebener oder
unangenehmer Mensch gewesen wäre; er gehörte nur zu jener Sorte zwanghaft
geselliger Naturen, die in ebenso emsiger Weise, wie Kinder Briefmarken,
Bekanntschaften sammeln und deshalb auf jedes Exemplar ihrer Kollektion in
besonderer Weise stolz sind. Für diesen gutmütigen Sonderling – im Nebenberuf ein
vielwissender und tüchtiger Archivar – beschränkte sich der ganze Lebenssinn auf die
bescheidene Genugtuung, bei jedem Namen, der ab und zu in einer Zeitung zu lesen
war, mit eitler Selbstverständlichkeit hinzufügen zu können: »Ein guter Freund von
mir« oder »Ach, den habe ich erst gestern getroffen« oder »Mein Freund A hat mir
gesagt und mein Freund B hat gemeint«, und so unentwegt das ganze Alphabet entlang.
Verläßlich klatschte er bei den Premieren seiner Freunde, telephonierte jede
Schauspielerin am nächsten Morgen glückwünschend an, er vergaß keinen Geburtstag,
verschwieg unerfreuliche Zeitungsnotizen und schickte einem die lobenden aus
herzlicher Anteilnahme zu. Kein unebener Mensch also, weil ehrlich beflissen und schon
beglückt, wenn man ihn einmal um eine kleine Gefälligkeit ersuchte oder gar das
Raritätenkabinett seiner Bekanntschaften um ein neues Objekt vermehrte.

Aber es tut nicht not, Freund »Adabei« – unter diesem heiteren Spottwort faßt man in
Wien jene Spielart gutmütiger Parasiten innerhalb der buntscheckigen Gruppe der
Snobs für gewöhnlich zusammen – näher zu beschreiben, denn jeder kennt sie und
weiß, daß man sich ihrer rührenden Unschädlichkeit ohne Roheit nicht erwehren kann.
So setzte ich mich resigniert zu ihm, und eine Viertelstunde lief schwatzhaft dahin, als
ein Herr in das Lokal eintrat, hochgewachsen und auffällig durch sein frischfarbiges,
jugendliches Gesicht mit einem pikanten Grau an den Schläfen; eine gewisse
Aufrechtheit im Gang verriet ihn sofort als ehemaligen Militär. Eifrig zuckte mein
Nachbar mit der für ihn typischen Beflissenheit grüßend auf, welchen Impetus jedoch
jener Herr eher gleichgültig als höflich erwiderte, und noch hatte der neue Gast nicht
recht bei dem eilig zudrängenden Kellner bestellt, als mein Freund Adabei bereits an
mich heranrückte und mir leise zuflüsterte: »Wissen Sie, wer das ist?« Da ich seinen
Sammelstolz, jedes halbwegs interessante Exemplar seiner Kollektion rühmend zur
Schau zu stellen, längst kannte und überlange Explikationen fürchtete, äußerte ich bloß
ein recht uninteressiertes »Nein« und zerlegte weiter meine Sachertorte. Diese meine
Indolenz aber machte den Namenskuppler nur noch aufgeregter, und die Hand
vorsichtig vorhaltend, hauchte er mir leise zu: »Das ist doch der Hofmiller von der
Generalintendanz – Sie wissen doch – der im Krieg den Maria Theresienorden
bekommen hat.« Weil nun dieses Faktum mich nicht in der erhofften Weise zu
erschüttern schien, begann er mit der Begeisterung eines patriotischen Lesebuchs
auszupacken, was dieser Rittmeister Hofmiller im Krieg Großartiges geleistet hätte,
zuerst bei der Kavallerie, dann bei jenem Erkundungsflug über die Piave, wo er allein
drei Flugzeuge abgeschossen hätte, schließlich bei der Maschinengewehrkompagnie, wo er drei Tage einen Frontabschnitt besetzt und gehalten hätte – all das mit vielen
Einzelheiten (die ich hier überschlage) und immer dazwischen sein maßloses Erstaunen
bekundend, daß ich von diesem Prachtmenschen nie gehört hatte, den doch Kaiser Karl
in Person mit der seltensten Dekoration der österreichischen Armee ausgezeichnet
habe.

Unwillkürlich ließ ich mich verleiten, zum andern Tisch hinüberzuschauen, um einmal
einen historisch abgestempelten Helden aus Zweimeterdistanz zu sehen. Aber da stieß
ich auf einen harten, verärgerten Blick, der etwa sagen wollte: Hat der Kerl dir etwas
von mir vorgeflunkert? An mir gibt’s nichts anzugaffen! Gleichzeitig rückte jener Herr
mit einer unverkennbar unfreundlichen Bewegung den Sessel zur Seite und schob uns
energisch den Rücken zu. Etwas beschämt nahm ich meinen Blick zurück und vermied
von nun an, auch nur die Decke jenes Tischs neugierig anzustreifen. Bald darauf
verabschiedete ich mich von meinem braven Schwätzer, beim Hinausgehen jedoch
schon bemerkend, daß er sich sofort zu seinem Helden hinübertransferierte,
wahrscheinlich um einen ebenso eifrigen Bericht über mich zu erstatten wie zu mir über jenen.

Das war alles. Ein Blick hin und her, und ich hätte gewiß diese flüchtige Begegnung
vergessen, doch der Zufall wollte, daß ich bereits am nächsten Tage, in einer kleinen
Gesellschaft mich neuerdings diesem ablehnenden Herrn gegenübersah, der übrigens
im abendlichen Smoking noch auffallender und eleganter wirkte als gestern in dem
mehr sportlichen Homespun. Wir hatten beide Mühe, ein kleines Lächeln zu verbergen,
jenes ominöse Lächeln zwischen zwei Menschen, die inmitten einer größeren Gruppe
ein wohlgehütetes Geheimnis gemeinsam haben. Er erkannte mich genau wie ich ihn,
und wahrscheinlich erregten oder amüsierten wir uns auch in gleicher Weise über den
erfolglosen Kuppler von gestern. Zunächst vermieden wir, miteinander zu sprechen, was sich schon deswegen als aussichtslos erwiesen hätte, weil rings um uns eine aufgeregte Diskussion im Gange war.

Der Gegenstand jener Diskussion ist im voraus verraten, wenn ich erwähne, daß sie im
Jahre 1938 stattfand. Spätere Chronisten unserer Zeit werden einmal feststellen, daß im
Jahre 1938 fast jedes Gespräch in jedem Lande unseres verstörten Europa von den
Mutmaßungen über Wahrscheinlichkeit oder Unwahrscheinlichkeit eines neuen
Weltkrieges beherrscht war. Unvermeidlich faszinierte das Thema jedes Zusammensein,
und man hatte manchmal das Gefühl, es seien gar nicht die Menschen, die in
Vermutungen und Hoffnungen ihre Angst abreagierten, sondern gleichsam die
Atmosphäre selbst, die erregte und mit geheimen Spannungen beladene Zeitluft, die
sich ausschwingen wollte im Wort.

Originaltext aus: https://www.projekt-gutenberg.org/autoren/namen/zweig.html

Felix K. Nesi: Orang-Orang Oetimu

Das Manuskript des Romans Orang-Orang Oetimu gewann den jährlich stattfindenen Literaturwettbewerb Jakarta Arts Council Novel Competition 2018 als Bester Roman des Jahres und wurde 2019 unter dem selben Titel von Marjin Kiri veröffentlicht. Der Roman wurde 2021 in der Kategorie Prosa für den prestigereichsten Literaturpreis Indonesiens, Kusala Sastra Khatulistiwa, nominiert.

Ebenfalls im Jahr 2021 wurde Orang-Orang Oetimo mit dem Literaturpreis des Ministeriums für Bildung, Kultur, Wissenschaft und Technologie der Republik Indonesien in der Kategorie Roman ausgezeichnet. Der Preis wird jährlich durch die Behörde für Sprachentwicklung und -förderung unter dem Dach des Ministeriums verliehen. Die Jury, bestehend aus fünfzehn bekannten indonesischen Schriftstellerinnen und Schriftstellern, würdigte den Roman als herausragendes literarisches Werk.

Felix K. Nesi: Orang-Orang Oetimu. Marjin Kiri Publisher, Tangerang, 2. Aufl. 2019 (ISBN: 978-979-1260-89-3)


Felix K. Nesi: (AT) Die Leute von Oetimu

Kapitel I

Oetimu, 1998

Am Abend des Endspiels der Fußballweltmeisterschaft und eine Stunde bevor die Killer sich Zutritt zu seinem Haus verschafften, wurde Martin Kabiti von Sergeant Ipi mit dem Motorrad abgeholt. Das Motorrad, eine Yahmaha RX King, war frisiert worden und nun verstärkte der Auspuff die Motorengeräusche zu einem ohrenbetäubenden Dröhnen, das die Häuser der armen Leute erzittern ließ, die Hunde zum Bellen brachte und die Fledermäuse in den Wipfeln der Kapokbäume aufscheuchte. In der kühlen Abendluft hatten sich feine Nebelschleier zwischen den Bananenstauden verfangen und sich auf den Oberflächen der Blätter niedergeschlagen, sodass diese im Scheinwerferlicht des Motorrads silbrig schimmerten. Drei Hunde jagten dem Gefährt hinterher, und als einer von ihnen Sergeant Ipi beinahe ins Bein gebissen hätte, ließ dieser sein Motorrad noch stärker aufheulen, als wolle er die dürren Kläffer herausfordern. Es war dies ein glücklicher Abend für ihn. Er hatte bereits alle Vorbereitungen für ein bescheidenes Gastmahl in der Polizeiwache, in der arbeitete und lebte, getroffen. Es würde Rica Anjing, Gulasch aus Hundefleisch, gegrilltes Schwein, Reh und allerlei Getränke geben, und zwar solche mit den offiziellen Zollaufklebern auf der Flasche, die er aus der Stadt mitgebracht hatte, als auch Sopi Kepala, das Gebräu, das man hier im Dorf bekam.

„Lass uns das Endspiel gemeinsam ansehen. Komm zu mir und freue dich mit mir!“, so lautete die Einladung, die er zwei Tage zuvor an Martin Kabiti gerichtet hatte.

Sergeant Ipis Einladung galt aber nicht nur Martin Kabiti. Er hatte zwei Schuljungen aufgetragen, allen Männern im Dorf, angefangen von den Oberschülern ohne Bartwuchs und Motorradtaxifahrern über die Unruhestifter und Kleinganoven, die nicht selten Schläge von ihm einzustecken hatten, bis hin zu den Dorfältesten und honorigen Herren von seinem Gastmahl zu berichten. Martin Kabiti einzuladen war für ihn jedoch etwas ganz Besonderes und er fühlte sich verpflichtet, diesen Mann persönlich mit seinem Motorrad abzuholen.

Martin Kabiti, der schon vor Längerem den bewaffneten Kampf an den Nagel gehängt hatte und keinen Gedanken an die Möglichkeit eines bevorstehenden Unheils verschwendete, zog sich seine dicke Jacke mit Tarnmotiv über, die er noch aus der Zeit besaß, als er am Berg Matebian Jagd auf Aufständische machte, steckte seine Füße in schwarze Socken und in Carvil-Sandalen, nahm seinen Hausschlüssel und eilte aus dem Haus. Seine Frau ließ ihn ohne die leiseste Vorahnung ziehen, und seine Kinder schliefen bereits tief und fest, in den Schlaf gesungen vom Chor der Zikaden und der nachtaktiven Tiere der Wildnis. Martin Kabiti nahm auf dem Beifahrersitz Platz. Auf dem gesamten Weg zur Polizeiwache überholten sie junge Männer in Jacken und alte Männer in Sarongs, die man hier bete nannte, sie alle eilten zu Fuß in dieselbe Richtung. Ein anderes Motorrad, besetzt mit zwei Soldaten von der Grenzwache, heulte hinter ihnen auf. Der Fahrer beschleunigte, so wie er das Dröhnen der RX King von Sergeant Ipi erkannte. Martin Kabiti hatte die beiden Soldaten eingeladen. Er hatte ihnen schon mehrere Male geraten, sich der zivilen Bevölkerung anzunähern. Und dieser Abend bot eine besonders günstige Gelegenheit dafür, denn so würden sie sich unter die Dorfbewohner mischen und ihre Begeisterung für dieselbe Sache mit ihnen teilen können. Die beiden Motorräder fuhren das letzte Stück des Weges nebeneinander her, und die Männer aus dem Dorf, an denen sie vorbeifuhren, hoben  respektvoll grüßend die Hand.

Die Leute von Oetimu hatte das Fußballfieber gepackt. Allabendlich versammelten sie sich vor dem Fernseher und feuerten die Männer an, die auf dem grünen Rasen einem Ball hinterherjagten. Sie schnitten sich die aktuellen Spielpläne aus der Zeitung aus und klebten sie an die Wand im Wohnzimmer oder im Schlafzimmer oder sogar in der Hütte auf dem Feld; sie machten mit dem Bleistift ein Zeichen hinter dem Land, welches bereits ein Spiel verloren hatte, und ein anderes Zeichen hinter dem Land, welches ihrer Meinung nach noch ein Spiel verlieren würde. Sie hatten einen Favoriten, von dessen Sieg sie fest überzeugt waren, nämlich Brasilien, denn abgesehen davon, dass die brasilianischen Fußballer spielten als würden sie tanzen, besaß die brasilianische Elf  einen unbezwingbaren Stürmer: Ronaldo Luis Nazário de Lima. Die Leute vergötterten Ronaldo, sie nannten ihre Hunde Ronaldo und auch andere Tiere in Haus und Hof, und wenn Brasilien spielte, blieben in den Häusern nur die Frauen und Kinder zurück, während die Männer, jung und alt, sich vor dem Fernseher versammelten und ihrem Idol zujubelten.

Im Dorf gab es bereits drei Fernsehgeräte. Eines in der Polizeiwache, eines im Haus von Mas Zainal und eines im Haus von Baba Ong, dem Besitzer des Ladens Subur. Baba Ong war ungemein geizig und würde die Leute aus dem Dorf niemals in sein Haus lassen, außer sie wollten etwas bei ihm kauften. Er besaß lange, blickdichte Vorhänge, die den Fernseher im Wohnzimmer vor den Augen der Kinder, die gerne durch seine Fenster linsten, abschirmte. Mas Zainal hatte derart vorstehende Zähne, dass er jedem Besucher seines Hauses den Eindruck vermittelte, er würde ihn freundlich anlächeln. Allerdings war Mas Zainal Alteisensammler, und in seinem Haus fernzusehen bedeutete, sich zwischen verrosteten und scharfkantigen Eisenwaren sowie gebrauchten Akkus und Batterien zu zwängen. Zudem herrschten starke Gerüche vor: Der Duft nach Essen drang aus der Küche und machte hungrig, aber gleichzeitig wurde einem von dem Gestank nach Öl speiübel. Tatsächlich wäre es allen am liebsten gewesen in der Polizeiwache fernzusehen – auf der geräumigen Fläche des Fußbodens würde man sich mit ausgestreckten Beinen fläzen können, zur Abwechslung könnte man sich gegen die glatt verputzte Wand lehnen, und, falls keine wichtigen Leute anwesend waren, könnte man sich auf das weich gepolsterte Sofa setzen – doch der Fernseher in der Polizeiwache wurde üblicherweise nur für wichtige Leute wie Martin Kabiti, die Dorfältesten, Lehrer oder andere respektable Persönlichkeiten eingeschaltet. So hatten die gewöhnlichen Leute, wenn sie fernsehen wollten, keine andere Wahl als sich im Haus von Mas Zainal umgeben von allerlei Eisenschrott und unangenehmen Gerüchen zu versammeln.

Den Männern hatte Sergeant Ipi daher mit seiner Einladung, an diesem Abend bei ihm in der Polizeiwache fernzusehen, eine riesengroße Freude bereitet. Umso größer war ihre Freude, als sie von der üppigen Auswahl an Fleischspeisen und Getränken erfuhren, die der junge Polizist bereits besorgt hatte. Die Männer strömten also in Scharen herbei, und auch Mas Zainal schaltete sein Fernsehgerät aus und machte sich auf zur Polizeiwache, um dort fernzusehen.

Als die beiden Motorräder nebeneinander in den Hof der Polizeiwache einfuhren, hatte sich dort bereits eine erwartungsvolle Menschenmenge versammelt, die Männer rauchten oder kauten Betel. Die Polizeiwache war zu klein als dass man sie Polizeirevier hätte nennen können, aber auch zu groß als dass man sie Polizeiposten hätte nennen können. Das Gebäude war aus Stein gebaut und verfügte über zwei Räume, einen Raum im hinteren Bereich, in welchem Sergeant Ipi schlief, und einen deutlich größeren Raum, den er zum Arbeiten nutzte. In letzterem schrieb er seine Berichte, sah fern, empfing Gäste und hier aß er auch.

aus: Felix K. Nesi: Orang-Orang Oetimu, CV Marjin Kiri, Tangerang 2019, Übersetzung von Sabine Müller

© Sabine Müller

Felix Nesi: Orang-Orang Oetimu

I

Oetimu, 1998

Satu jam sebelum para pembunuh itu menyerang rumah Martin Kabiti, di malam final Piala Dunia, Sersan Ipi menjemput Martin Kabiti dengan sepeda motornya. Itu adalah sepeda motor RX King yang telah ia modifikasi knalpotnya, sehingga raungannya menggelegar membelah rumah orang-orang miskin, membikin anjing melolong dan kelelawar beterbangan dari pucuk-pucuk bunga kapuk. Kabut tipis yang membikin dingin terperangkap di permukaan daun-daun pisang, menjadi keperakan terpapar cahaya lampu sepeda motor. Tiga ekor anjing memburu dan nyaris menggigit kakinya, tetapi Sersan Ipi terus menggeru-gerukan sepeda motornya, seolah makin ingin ia
menggoda anjing-anjing kurus itu. Itu malam yang bahagia untuknya. Ia telah menyediakan jamuan kecil di pos polisi yang ia tinggali—rica anjing dan babi panggang, dendeng rusa dan berjenis-jenis minuman, baik minuman dengan label cukai yang
ia bawa dari kota, maupun sopi kepala yang ia dapatkan di kampung itu.

“Datanglah ke rumah. Nonton pertandingan final, dan berbahagialah bersama saya,” begitu katanya kepada Martin Kabiti dua hari yang lalu.

Tidak hanya kepada Martin Kabiti undangan itu ia alamatkan. Ia telah menyuruh dua anak sekolahan mengabarkan jamuan itu kepada seluruh laki-laki di penjuru kampung, mulai dari anak SMA yang belum tumbuh jenggot, tukang ojek dan berandal yang kerap kena tinjunya, hingga tetua kampung dan orang-orang yang terhormat. Namun Martin Kabiti adalah undangan yang istimewa baginya, sehingga ia merasa harus menjemput
sendiri laki-laki itu dengan sepeda motornya.

Martin Kabiti yang telah lama berhenti berperang dan tidak mengira akan terjadi musibah di malam itu, mengenakan jaket tebal bermotif loreng yang ia dapat saat mengejar gerilyawan di gunung Matebian, memasang kaus kaki hitam dan sandal
Carvil di kakinya, mengambil kunci rumah dan bergegas.

Istrinya membiarkan ia pergi tanpa firasat apa pun, sementara anak-anaknya telah lelap tertidur, dininabobokan oleh derik jangkrik dan lagu binatang malam dari tepian sabana. Martin Kabiti duduk di boncengan, dan sepanjang jalan menuju pos
polisi itu mereka menjumpai anak-anak muda yang mengenakan jaket dan orang-orang tua yang bersampir betê, bergegas ke arah yang sama. Sebuah sepeda motor lain menderu dari belakang mereka, ditumpangi oleh dua orang tentara dari pos jaga
perbatasan turut bergegas begitu mendengar raung sepeda motor Sersan Ipi. Martin Kabiti telah mengajak tentara-tentara itu.

Ia selalu menyarankan agar mereka berbaur bersama masyarakat sipil, dan malam itu adalah kesempatan yang baik, sebab mereka akan hadir di tengah masyarakat dan merasakan kegembiraan yang sama. Dua sepeda motor itu berjalan beriringan, dan orang-orang kampung yang berjalan kaki menyalami mereka dengan hormat.

Orang-orang di kampung itu baru saja kena demam sepak-bola. Setiap malam mereka berkumpul di depan televisi dan menyemangati orang-orang yang berebut bola di lapangan hijau. Mereka menggunting jadwal pertandingan dari koran dan menempelkannya di ruang tamu, di kamar tidur maupun di pondok-pondok kebun, dan memberi tanda dengan pensil negara mana yang telah kalah dan negara mana yang akan kalah.

Mereka mempunyai idola yang mereka yakin pasti akan menang, yaitu Brazil, sebab selain punya tim yang bermain seperti menari, Brazil punya seorang penyerang tak terkalahkan bernama Ronaldo Luís Nazário de Lima. Mereka sungguh mengidolakan Ronaldo, menamai anjing dan segala binatang peliharaan mereka Ronaldo, dan apabila tiba giliran Brazil bertanding, sungguh rumah-rumah hanya ditinggali oleh perempuan
dan kanak-kanak, sementara laki-laki remaja hingga orang-orang tua berkumpul di depan televisi dan menyoraki idola mereka itu.

Sudah ada tiga buah televisi di kampung itu. Satu di pos polisi, satu di rumah Mas Zainal, dan satu di rumah Baba Ong pemilik Toko Subur. Baba Ong pelit bukan main dan tidak akan membiarkan orang kampung masuk ke rumahnya jika bukan untuk berbelanja. Ia mempunyai gorden yang tebal dan panjang untuk menutupi televisi di ruang tamunya dari pandangan anak-anak yang suka mengintip di jendela. Mas Zainal mempunyai gigi yang tonggos, yang membuat ia kelihatan selalu tersenyum ramah kepada siapa pun yang datang ke rumahnya.

Namun ia adalah seorang pengepul besi tua, dan menonton televisi di rumahnya berarti duduk di antara besi-besi yang berkarat dan tajam, juga aki bekas, dan segala macam bau: baik bau masakan yang menguar dari dapur dan membikin lapar,
maupun bau oli yang membikin mual.

Sumber: ; Felix K. Nesi: Orang-Orang Oetimu. Marjin Kiri Publisher, Tangerang, 2019 © Marjin Kiri Publisher

Eka Kurniawan: Auszug aus dem Roman „Tigermann“

Zwei

Der Tiger war weiß wie ein Schwan und zugleich scharf und mitleidslos wie ein Rothund. Mameh hatte ihn einmal für einen kurzen Augenblick gesehen, wie er, einem Schatten gleich, Margios Körper verließ. Davor und auch danach hatte sie ihn nie wieder zu Gesicht bekommen. Aber es gab ein Anzeichen, das sie wissen ließ, dass der Tiger noch in ihm war. Mameh kannte es gut, aber sie wusste nicht, ob andere Leute es auch sahen. Erkennbar war es nur in der Dunkelheit, wenn Margios Augen plötzlich katzengelb aufblitzten. Anfänglich hatte Mameh vor diesen Augen Angst, und noch mehr fürchtete sie, dass der Tiger nach draußen springen würde, aber mit der Zeit legte sich diese Furcht, und weil sie zu oft schon dieses in der Dunkelheit aufleuchtende Augenpaar gesehen hatte, war ihr nicht mehr bang. Er war kein Feind, der sie verletzen würde, im Gegenteil, der Tiger war wahrscheinlich da, um sie zu beschützen.

Margio selbst war ihm zum ersten Mal an einem Morgen begegnet; das war vor einigen Wochen gewesen, noch bevor er von zuhause fortgegangen war. Er hatte als einziger im Gebetshaus übernachtet, und als er am Morgen aufgewacht war, hatte kein Tablett mit dampfend heißem Kaffee neben ihm gestanden oder gar ein Teller mit Frühstücksreis – nein, vielmehr hatte neben ihm ein weißer Tiger gelegen, der sich die Pranken leckte. Margio war aufgewacht, weil dessen Schwanz vergnügt hin und her wippte und dabei seine nackten Füße traf, ganz so, wie wenn ihm Ma Soma mit der Hand leicht auf die Füße klopfte, um ihn für das Frühgebet zu wecken. Aber draußen war es schon hell gewesen, und der Regen hatte der Welt ein tiefgraues Gesicht gegeben – offenbar hatte es in der Nacht so stark gegossen, dass kein Mensch in der Morgendämmerung das Gebetshaus aufgesucht hatte. Natürlich hatte Margio sich ziemlich erschreckt, der Anblick hatte ihn so überwältigt, dass er nur still innehalten und voll Verwunderung auf dieses mit sich selbst beschäftigte mächtige Tier starren konnte.

Er wusste, dass das Tier nicht wirklich lebte. Während der zwanzig Jahre, die er jetzt schon auf Erden war, hatte er schon so häufig den Urwald am Rande der Stadt durchquert, aber noch nie war ihm solch ein Tier begegnet. Da gab es kleine Baumleoparden, Wildschweine und Rothunde, aber nie einen weißen Tiger fast so groß wie ein Rind. Er erinnerte ihn an seinen Großvater vor vielen Jahren. Ihm traten Tränen in die Augen, und er streckte ganz langsam seine Hand aus, um die vordere Pranke des Tigers kurz zu berühren. Sie lag tatsächlich als ein greifbares Ding da, mit einem Fell so weich wie ein Staubbesen, die Krallen eingezogen wohl als Freundschaftsangebot. Nun hatte er die zweite Pranke leicht angehoben, und Margio streckte erneut seine Hand aus, worauf der Tiger seine Pfote hin und her bewegte, wie ein junges Kätzchen, das spielen will. Margio versuchte geschickt zuzugreifen, aber der Tiger rollte sich auf den Rücken und wich aus, stellte sich unerwartet auf die Hinterbeine zum Angriff bereit, und bevor Margio sich in Sicherheit bringen konnte, stürzte er sich auf ihn, warf ihn zu Boden und rollte sich dort mit ihm, ließ dann aber von ihm ab, da Margio dem Gewicht nicht gewachsen war. Margio blieb liegen, der Tiger setzte sich neben ihn und putzte wieder seine Pranken. Da klopfte Margio ihm zart auf die Schulter und sagte:

„Großvater?“

Aus dem Indonesischen von Martina Heinschke aus: Eka Kurniawan: Tigermann. OSTASIEN Verlag (Reihe Phönixfelder 30), Gossenberg, 2015, (ISBN: 978–3-940527-92-9)

© OSTASIEN Verlag

Eka Kurniawan: Schönheit ist eine Wunde

Einundzwanzig Jahre nach ihrem Tod erhebt sich Dewi Ayu aus ihrem Grab. Die einstmals beliebteste Prostituierte Halimundas findet, es sei an der Zeit, ihre jüngste Tochter kennenzulernen. Wieder in der Welt der Lebenden, muss sie feststellen, dass ihre Töchter grausame Schicksale erdulden müssen. Alle, bis auf die jüngste – denn die ist mit unsagbarer Hässlichkeit gesegnet.

Dewi Ayu begibt sich auf die Suche nach der Ursache für den Fluch, der auf ihrer Familie lastet. Eine Suche, die im Zweiten Weltkrieg beginnt, über einen despotischen Herrscher führt und dem Aufstreben einer jungen Nation beiwohnt. Zwischen fliegenden Frauen, rachsüchtigen Geistern und besessenen Totengräbern spinnt sich ein Netz der Wahrheit, das die Geschichte einer Familie und eines ganzen Landes einfängt.

Eka Kurniawan: Schönheit ist eine Wunde. Roman Aus dem Indonesischen von Sabine Müller. Unionsverlag, Zürich 2017

Hardcover (ISBN-13: 978-3-293-00521-1ISBN-10: 3-293-00521-7)


Eka Kurniawan: Tigermann

Ein dörfliches Wohngebiet am Rand einer Kleinstadt an Javas Südküste: Jeder kennt jeden, Alteingesessene leben neben neu Zugezogenen, die einen recht gutgestellt, die anderen mühsam um Arbeit und ein Auskommen kämpfend. Die Erzählung beginnt mit der Nachricht von einem brutalen Mord. Margio, ein stiller Junge, zwanzig Jahre alt, als Treiber bei der Wildschweinjagd allseits geschätzt, hat überraschend seinen Nachbarn getötet, nicht mit einer Waffe – er hat ihm vielmehr die Kehle durchgebissen.

Der Roman kreist um die Hintergründe der Tat. Sprachlich präzise, dicht und mit ungewöhnlichen Metaphern lässt Eka Kurniawan Margios Welt entstehen: schwierige Familienverhältnisse, die Beziehungen zwischen den Nachbarn, die Bindung an die Großeltern, Margios Geschick bei der Jagd, die Unsicherheiten der ersten Liebe.

Der Roman bietet eine überzeugende soziale und psychologische Darstellung, wobei der Rekurs auf den Tigermythos ein magisches Element einflicht und mit deren Grenzen spielt.

Tigermann aus dem Jahr 2004 ist beispielhaft für den eleganten Erzählstil von Eka Kurniawan und zeigt ihn als Meister der Beobachtung und psychologischen Deutung.

Der Roman wurde bereits ins Englische, Französische, Italienische und Koreanische übersetzt.

Eka Kurniawan: Tigermann. Reihe Phönixfeder 30
OSTASIEN Verlag

Paperback-Ausgabe, 2015.
ISBN-13: 978-3-940527-92-9 (978-3940527929, 978394052929) ISBN-10: 3-940527-92-0 (3940527920)

Hardcover-Ausgabe, 2016. 
ISBN-13: 978-3-940527-93-6 (978-


Eka Kurniawan: Kutipan dari „Lelaki Harimau“

Dua

Harimau itu putih serupa angsa, ganas sebengis ajak. Mameh pernah melihatnya suatu kali, sejenak, keluar dari tubuh Margio, seperti bebayang. Sebelumnya tak pernah ia melihat itu, pun setelahnya. Hanya satu pertanda bahwa harimau itu masih ada di sana, dan Mameh tahu, meski ia tak tahu apakah orang lain tahu. Pertanda itu hanya tampak di dalam gelap, di mata Margio, yang mendadak berkilau kuning, serupa milik kucing. Awalnya Mameh takut melihat mata itu, dan lebih cemas harimaunya sungguh keluar dari sana, namun bersama berlalunya waktu, dan sebab terlampau sering melihat sepasang cahaya dalam gelap itu, ia tak lagi cemas. Itu bukan musuhnya, ia tak akan melukainya, dan sebaliknya, barangkali harimau itu ada di sana untuk melindungi mereka.

Margio sendiri menemukannya suatu pagi, kala terbangun dari tidur seorang diri di surau, berminggu lalu sebelum ia minggat. Bukan kopi hangat mengepul di atas tatakan, bukan pula sepiring nasi goreng sarapan pagi, tapi seekor harimau putih rebah di sampingnya, tengah menjilati kakinya sendiri. Ia terbangun disebabkan ekor si harimau yang menari, menyapu kali telanjangnya, dan sejenak ia pikir itu tepukan tangan Ma Soma membangunkannya, mengajaknya salat Subuh. Tapi ternyata hari telah pagi, dan di luar hujan turun dengan wajah semesta yang kelabu, nyata semalam hujan besar dan tak ada orang datang di kala subuh. Tentu saja ia rada terkejut, demikian terguncangnya hingga apa yang bisa ia lakukan hanya diam tercekat, dan memandang takjub pada binatang gempal yang iseng sendiri itu.

Ia tahu binatang ini tak sungguh-sungguh hidup. Sepanjang dua puluh tahun hidupnya, ia telah keluar masuk rimba raya di pinggiran kota, dan tak pernah menemukan harimau semacam itu. Ada harimau pohon yang kecil, ada babi, dan ada ajak, tapi tak ada harimau putih hampir sebesar sapi. Itu mengingatkan dirinya pada kakeknya, bertahun-tahun lampau. Matanya dibikin berkaca-kaca, dan tangannya terulur perlahan, mencoba meraih kaki depan si harimau. Benda itu sungguh-sungguh ada di sana, dengan bebulu selembut kemoceng, kuku-kukunya tersembunyi pertanda suatu tawaran bersahabat, dan kaki terangkat, tangan Margio meraihnya lagi, dan kaki si harimau menepuk kecil, serupa anak kucing genit bermain-main. Margio meraihnya gesit, namun si harimau menghindar berguling, lalu mengambil kuda-kuda, siap menyerang, sebelum Margio sempat menghindar, ia telah menubruknya, dan di sana mereka berguling-guling dan hanya karena Margio tak sanggup menahan beban binatang itu mereka berhenti. Margio masih berbaring, si harimau kembali menjilati kakinya, bersimpuh di sampingnya. Lembut Margio menepuk bahunya, sambil menyapa.

„Kakek?“

Sumber: Eka Kurniawan: Lelaki Harimau Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
(ISBN: 2015 978-602-03-2220-9 )