Archiv der Kategorie: Lyrik

Agus Sarjono: Regentränen

Ziel bitte nicht mit mir auf Menschen,
fleht das Gewehr und versucht sich loszureißen.
Lass mich! fährt die Hand es an.
Ich muss diese Demonstranten in die Luft jagen.
Aber das sind doch alles junge Leute!
Schau dir die Kindergesichter doch an.
Und schließlich demonstrieren sie auch für
deine Belange.  Du hast dich doch auch
stets darüber beklagt, dass dein Sold
nicht ausreicht, dass du dich so plagen musst
für jeden Mundvoll Reis.

Ziel bitte nicht mit mir auf Menschen!
bettelt das Gewehr. Schweig, hier
geht es nicht um Menschen,
schreit die Hand, hier geht’s um Politik!
Ein, zwei Opfer, das ist Teil der Strategie.
Aber jetzt geht’s doch ums Prinzip
und nicht um Zahlen. Hier geht es um
trauernde Mütter, um Vernichtung
von Leben, um die Zukunft unterdrückter
Menschen. Schweig, du bist nur ein Werkzeug,
ein Mittel zum Zweck, und das Recht
auf eine Meinung hast du nicht. Ein solches Recht
haben nur die Volksvertreter, dort im Parlament.

Aber die denken doch nur an sich,
entgegnet das Gewehr, und du bist denen
ganz egal, genauso wie die Demonstranten,
und für die Armen und die Unterdrücken
haben diese Leute nie etwas getan.
Sie handeln nur im eigenen Interesse.
BUMM! Das Gewehr fährt zusammen.
Nein, tu es nicht!
BUMM … BUMM … BUMM … Das wär’s, sagt die Hand.

Musste das wirklich sein,
stöhnt das Gewehr.
Ich weiß nicht,
murmelt die Hand. Ich bin müde.
Ich muss mich ausruhen. Hoffentlich
geht’s meiner Frau
und meinen Kinder gut zu Hause.

Und das Gewehr verwandelt sich
in eine Wolke. Und lässt
Tränen regnen. Und hört nicht mehr damit auf.

Quelle: Agus Sarjono: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser. regiospectra Verlag, Berlin 2015, S. 93

© Agus Sarjono, Berthold Damshäuser

Agus Sarjono: Airmata Hujan

Jangan bidikkan aku, ronta Bedil sambil menggigil. Diam!
Bentak Tangan. Aku harus meledakkan anak-anak itu.
Tapi mereka masih belia! Lihatlah senyumnya yang muda
dan mereka tidak meminta selain kesejahteraanmu juga.
Bukankah engkau sering mengumpati gaji yang tak cukup
nafas hidup yang sempit, hingga harus berderap kian-kemari
mengutip sesuap nasi.

Jangan bidikkan aku, raung Bedil. Diam!
Ini bukan persoalan pribadi, hardik Tangan.
Ini masalah politik. Satu dua nyawa
sebagai taktik. Tapi ini bukan soal angka,
bukan soal satu dua
tapi soal ibu meratap kehilangan,
soal dimusnahkannya satu kehidupan
soal masa depan manusia yang dibekam. Soal hak …
Tutup mulutmu barang dinas! Kamu hanya alat

dan jangan berpendapat. Itu urusan politisi di majelis sana.
Tapi mereka hanya bahagia! Sergah bedil.
Mereka tak pernah peduli padamu, pada mereka,
pada yang miskin dan teraniaya.
Mereka tak mengurusi siapa-siapa
selain dirinya. Dor! Bedil itu tersentak. Jangan …
D or .. dor .. dor .. dor…  Selesai  sudah

gumam Tangan. Bukankah ini sudah berlebihan, isak Bedil.
Entahlah, gumam Tangan, aku tak tahu. Aku penat.
Aku hanya ingin istirahat. Semoga istri
dan anak-anakku di rumah sana
semuanya selamat.

Bedil itupun menjelma hujan. Tak putus-putusnya
mencurahkan airmata. 

1998

Sumber:  Agus Sarjono: Suatu Cerita Dari Negeri Angin. komodo books 2001,2003, hal. 49-50

© Agus Sarjono

Agus Sarjono: Demokratie der Dritten Welt

Du musst demokratisch sein!
Jaja, schon gut, aber zieh doch bitte
die geballte Faust von meiner
Schläfe zurück. Du hast doch …
Halt’s Maul! Ob ich meine Faust balle,
in der Hosentasche verberge,
oder dir damit auf die Nase schlage,
ist allein meine Sache.
Werd du erst mal demokratisch!
Nur darum geht es hier, also um dich
und keinesfalls um mich.

Natürlich, ich bin einverstanden,
und ich hab es doch bereits versucht . . .
Schluss jetzt! Deine Ausreden
 interessieren mich nicht. Jetzt
verschwende keine Zeit,
denn ich befehle dir, demokratisch zu sein.
Basta! Und sei dir über eins im Klaren:
die demokratischen Horden,
die ich mobilisiert habe,
werden dich sonst
niedermachen und vernichten.
Also los, werd demokratisch!
Wehe dir, wenn nicht!

Quelle: Agus Sarjono: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser. regiospectra Verlag, Berlin 2015, S. 95

© Agus Sarjono, Berthold Damshäuser

Agus Sarjono: Demokrasi Dunia Ketiga

Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan
tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau… Tutup mulut! Soal tinjuku
mau kukepalkan, kusimpan di saku
atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis. Lagi pula
kita tidak sedang bicara soal aku, tapi soal kamu
yaitu kamu harus demokratis!

Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini
saya telah mencoba… Sudahlah! Kami tak mau dengar
apa alasanmu. Tak perlu berkilah
dan buang waktu. Aku perintahkan kamu
untuk demokratis, habis perkara! Ingat
gerombolan demokrasi yang kami galang
akan melindasmu habis. Jadi jangan
macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!

Sumber: Agus Sarjono: Suatu Cerita Dari Negeri Angin. komodo books, 2001,2003, hal. 55

© Agus Sarjono

Agus Sarjono: Celan

Pada jantung sejarah yang berdarah
ketemui Paul Celan diam-diam mengajar bunda
sang waktu dan benih malam untuk berjalan. Tapi waktu
dan malam berhenti dalam genangan susu hitam
tempat mayat-mayat perempuan berambut kelabu
mengambang pilu. Siapakah tajam kapak-kapak
jika bukan Yang Dipertuan Adipati Kehampaan?
Disandingkannya maut kencana dengan bibir cinta
jasad asmara dengan pusara gelak tawa
pinggul ratapan dengan tengkuk kehidupan
semua dijalinnya sepasang-sepasang
seperti merangkai yang bukan matamu
bukan mataku dan bukan matanya
dalam jalinan selendang berkibaran
gelap dan muram bagai candu
dan ingatan.

Bunda malang yang tiada pulang
kerabat yang dibakar dan berkubur lapang
di angkasa, menggali sumur luka
di jantung kenangan tempat rasa bersalah
menjelma susu hitam yang ditimba oleh dia
yang tersisa, dia yang luput dan lari
untuk bahagia. Adakah berat

jadi dia yang selamat? Adakah tamat
segala duka saat berbagi tubuh
bertukar hasrat dengan kekasih
manis dari keluarga petani
yang menanam tubuh menyiangi nyawa 
kerabat di ladang-ladang pedih?

Burung sedu-sedan terbang sendirian
dengan sayap kenangan kelabu
dan berat, berkepakan gamang
di antara rambut kencana
kekasih sayang dan rambut kelabu
jasad sang ibu yang panjang
dan mengikat: bagai jerat
merentang tegang
hingga liang lahat.

Sumber: Agus Sarjono: Lumbung Perjumpaan. komodo books 2011, hal. 46-47

© Agus Sarjono

Agus Sarjono: Celan

Im blutenden Herz der Geschichte
stieß ich auf Paul Celan. Er lehrte die Mutter
der Zeit und auch die Saat der Nacht zu gehen.
Doch hemmte die Zeit und die Nacht
eine Flut schwarzer Milch.
Darin trieben leidvoll die Leichen von Frauen
mit aschenem Haar. Die Schärfe jener Axt,
das ist der Herzog der Leere!
Der vermählt den güldenen Tod
 mit liebenden Lippen, die Leiche der Lust
mit der Gruft allen Lachens,
die schlanken Hüften des Leids
mit roten Wangen des Lebens,
er flicht sie zu Paaren,
so wie er das verwebt, was nicht dein Aug,
was auch nicht meines, auch nicht seines,
er fügt’s aneinander im Flechtwerk
des wehenden Tuches,
das düster ist, dunkel
wie Mohn und Gedächtnis.

Arme Mutter, die nicht heimkam,
die Stammverwandten sind verbrannt,
sie haben ein Grab in den Lüften,
sie bohrten den Brunnen der Schmerzen
im Herzen der Erinnerung, darin die Schuld
in schwarze Milch sich wandelte,
geschöpft von dem, der übrigblieb,
dem, der entkam um Glückes willen.
War es so schwer Geretteter zu sein?
War alles Leid getilgt,
als mit der schönen Geliebten
der Leib geteilt
und Lust getauscht ward,
mit jener Nachfahrin der Bauern,
die auf Kummeräckern
Leiber pflanzten, Seelen jäteten?

Ein trauriger Vogel schwirrt einsam,
seine Flügel sind Erinnerung, aschen
und schwer, furchtsam flattert er,
hin und her, bald im Goldhaar der Geliebten,
bald in den langen aschenen Haaren
am toten Leib der Mutter.
Haare, die fesseln: wie ein Fallstrick,
straff gespannt,
bis hinein in jeden Grabeswinkel.

Quelle: Agus Sarjono: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser. regiospectra Verlag, Berlin 2015, S. 58

© Agus Sarjono, Berthold Damshäuser

Agus Sarjono: Surat Pembaca

Redaksi yang terhormat,
izinkan saya menyampaikan keluhan
dan sedikit saran. Burung bangau
di tepi danau itu sudah sembilan malam
mencangkung sendirian, hingga katak
dan ikan-ikan tak berani bercinta
padahal purnama begitu indahnya.

Juga di tepi padang, sekuntum kembang
tersedu-sedu sendirian, sembilan lambaian 
yang lalu tepat di tikungan jalan
ke arah hutan. Jingga kelopaknya terbiar
di sela belukar tanpa ada yang peduli
padahal setiap hari ia menghias diri
dengan embun pagi.

Saya sarankan agar remang rembulan
yang mengambang sendu
di sudut kolam itu disandingkan saja
dengan rusa remaja yang termangu
sendirian di tepian hutan, padahal
para pemburu sudah lama berlalu
membawa rusa jantan kasmaran
yang  rubuh tersambar peluru.

Demikian surat saya, semoga ada
manfaatnya bagi pembaca
maupun sepasang kupu-kupu
yang terjebak di kaca jendela kamar,
padahal cuaca di luar 
begitu nyaman, sejuk, segar.

Sumber: Agus R. Sarjono. 2016. Surat-surat Kesunyian. Jakarta: Komodo books, hal. 20

© Agus Sarjono

Agus Sarjono: Leserbrief

Verehrte  Redaktion, gestatten Sie mir,
Ihnen eine Beschwerde zu übermitteln,
nebst  einigen  Anregungen. Die Kraniche
am Seeufer stehen nun schon neun Nächte lang
einsam, allein und einbeinig herum, so dass die
Frösche und Fische trotz Vollmonds
auf ihr Liebesspiel verzichten.

Und am Feldrand steht eine Blume,
traurig und einsam, schon seit neun
blinzelnden Blicken, genau dort,
wo der Weg in den Wald abbiegt.
Welche Verschwendung ihrer lila Blütenpracht,
denn niemand nimmt Notiz,
dabei schminkt sie sich
allmorgendlich mit frischem Tau.

Ich rege an, den melancholischen
Mondschein, der sich widerspiegelt auf dem Teich,
anzuvermählen jener jungen Hirschkuh,
die am Waldrand immer noch so traurig sinnt,
obwohl die Jäger schon vor Wochen
das Aas des Hirschbocks weggeschafft,
der unter ihren Kugeln tot zusammenbrach.

Soweit mein Schreiben,
möge es nutzbringend sein,
für Ihre Leser,
aber auch für das Schmetterlingspärchen
das in meinem Zimmer gefangen ist,
immer wieder gegen die Fensterscheibe prallt,
wo doch draußen
allerschönstes Wetter herrscht.

Quelle: Agus Sarjono: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser. regiospectra Verlag, Berlin 2015, S. 18

© Agus Sarjono, Berthold Damshäuser

Agus Sarjono: Surat Lamaran

Perkenalkan nama saya sendu
dengan satu dua keriangan.
Saya terampil menangani lara
kenangan-kenangan tersisa,
dan mengemas melankolia.

Adapun kehampaan, rasa kosong
dan sia-sia, serta yang berkaitan
dengan ratapan, dapat saya tangani
sebagai tambahan pekerjaan.
Tentu untuk ini saya perlukan
tunjangan tambahan: sepotong senja
dengan sebaris tipis warna jingga.

Saya ajukan lamaran ini sepenuh hati
dan mohon kiranya dapat diterima.
Sebagai lampiran, saya sertakan di sini
segaris luka lama: pedih dan abadi
dari cemas dukana tiada bertepi

Sumber: Agus R. Sarjono. 2016. Surat-surat Kesunyian. Jakarta: Komodo books, hal. 28

© Agus Sarjono

Agus Sarjono: Bewerbungsschreiben

Gestatten, mein Name ist Trübsinn,
mit ein paar Spritzern guter Laune.
Ich bin geschickt im Management
von Kummer, allen Sachverhalten,
die man nicht verdrängen kann,
zudem im Verwalten von Melancholie.
Das wäre mein Hauptarbeitsfeld.

Um Angelegenheiten wie innere Leere,
um den Eindruck, alles umsonst zu tun,
kümmre ich mich gerne in Überstunden.
Das Entgelt dafür wäre:
ein Schälchen Abendrot
mit einer dünnen Schicht von Purpur.

Mir ist es ernst mit dieser Bewerbung,
ich rechne mit Einstellung.
In der Anlage füge ich bei:
die Spuren einer alten Wunde,
beißend, unvergänglich,
aus namenloser Trauer rührt sie her.

Quelle: Agus Sarjono: Gestatten, mein Name ist Trübsinn. Aus dem Indonesischen von Berthold Damshäuser. regiospectra Verlag, Berlin 2015, S. 17

© Agus Sarjono, Berthold Damshäuser