Pada jantung sejarah yang berdarah
ketemui Paul Celan diam-diam mengajar bunda
sang waktu dan benih malam untuk berjalan. Tapi waktu
dan malam berhenti dalam genangan susu hitam
tempat mayat-mayat perempuan berambut kelabu
mengambang pilu. Siapakah tajam kapak-kapak
jika bukan Yang Dipertuan Adipati Kehampaan?
Disandingkannya maut kencana dengan bibir cinta
jasad asmara dengan pusara gelak tawa
pinggul ratapan dengan tengkuk kehidupan
semua dijalinnya sepasang-sepasang
seperti merangkai yang bukan matamu
bukan mataku dan bukan matanya
dalam jalinan selendang berkibaran
gelap dan muram bagai candu
dan ingatan.
Bunda malang yang tiada pulang
kerabat yang dibakar dan berkubur lapang
di angkasa, menggali sumur luka
di jantung kenangan tempat rasa bersalah
menjelma susu hitam yang ditimba oleh dia
yang tersisa, dia yang luput dan lari
untuk bahagia. Adakah berat
jadi dia yang selamat? Adakah tamat
segala duka saat berbagi tubuh
bertukar hasrat dengan kekasih
manis dari keluarga petani
yang menanam tubuh menyiangi nyawa
kerabat di ladang-ladang pedih?
Burung sedu-sedan terbang sendirian
dengan sayap kenangan kelabu
dan berat, berkepakan gamang
di antara rambut kencana
kekasih sayang dan rambut kelabu
jasad sang ibu yang panjang
dan mengikat: bagai jerat
merentang tegang
hingga liang lahat.
Sumber: Agus Sarjono: Lumbung Perjumpaan. komodo books 2011, hal. 46-47
© Agus Sarjono