Feby Indirani: Perempuan Yang Kehilangan Wajahnya

Di suatu pagi, Annisa bangun dan ia tersadar saat bercermin, bahwa ia tidak lagi memiliki hidung.

“Astaghfirullah!“ serunya keras. Andai Razi suaminya ada di rumah, ia mungkin sudah terjengkang dari kursi goyang kesayangannya. Namun Razi sedang dinas ke luar kota dan baru akan kembali lima hari lagi. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan, Annisa panik.

Untuk beberapa saat, ia hanya membenamkan wajahnya di bantal. Cermin di kamarnya seolah menjadi hantu yang paling ditakutinya. Selama beberapa jam kemudian, Annisa hanya menangis meratapi nasib. Bagaimana mungkin hidungnya bisa hilang?

Tepatnya adalah batang hidungnya yang ramping, dan pucuk hidungnya yang biasanya membulat menggemaskan. Yang tersisa dari hidungnya adalah dua bulatan yang dipayungi cuping hidung yang tinggal setengah. Ia tidak merasakan rasa sakit sedikitpun. Ia pun tetap bisa menghirup udara seperti biasa, melalui lubang yang tadinya adalah hidungnya itu. Tapi oh alangkah buruknya wajah dengan hidung yang menghilang.

Annisa masih berharap itu adalah mimpi buruk, namun ketika ia berkaca lagi, ia tahu, ia tidak bermimpi. Ia tidak lagi memiliki hidung, atau tepatnya batang hidung. Ia merasa terguncang, tapi kemudian mulai berusaha berpikir rasional, dan mulai menimbang sejumlah alternatif tindakan yang harus dilakukannya. Menghubungi dokter di rumah sakit? Ya, Annisa akan melakukannya, tapi tidak, sebaiknya ia menunggu Razi pulang. Tidak, ia tidak mau mengabari Razi sekarang karena tidak ingin mengganggu konsentrasi suaminya. Dan ya, ia menduga biayanya mungkin akan mahal untuk bisa membuat sebatang hidung.  Sebagai seorang istri yang baik, ia tidak mungkin mengeluarkan uang yang begitu besar tanpa izin terlebih dulu dari suaminya. Tidak, ke dokter atau rumah sakit bukanlah prioritas yang begitu mendesak, karena Annisa sudah memastikan bahwa ia tidak merasakan sakit apapun.

Ya, ini adalah masalah estetika dan bukan keselamatan. Meskipun  berada dalam kondisi yang sangat kaget dan terguncang, secara naluriah Annisa tahu, bukan keselamatan nyawanya yang dipertaruhkan.

Baiklah, ini bukan segala-galanya. Ia bernafas seperti biasa. Annisa hanya perlu keluar rumah hari ini seperti biasa. Dikenakannya jilbabnya yang panjang polos berwarna biru tua, beserta niqab yang biasa terpasang di wajahnya, menyisakan sepasang mata dan alisnya. Untunglah aku ber-niqab, pikir Annisa lega.

Untuk sesaat, Annisa fokus pada hal-hal yang mesti dilakukannya hari itu. Mengunjungi sekolah yang dimiliki oleh keluarganya dan rapat dengan para guru di sana. Memastikan bahwa renovasi gedung sekolah itu bisa segera dimulai, sebelum tahun ajaran baru datang. Mungkin ia akan ikut dalam pertemuan dengan kontraktor, yang artinya rapat beruntun. Setelah itu ia sebetulnya punya rencana untuk merawat diri  di salon khusus Muslimah, tapi tidak, sebaiknya dibatalkan saja, karena ia tidak mau membuat orang-orang terkejut dengan wajahnya. Ya, mungkin ia akan langsung ke supermarket dan belanja kebutuhan domestik saja.

Ia menyetir mobilnya perlahan, setengah melamun. Saat memasuki gerbang sekolah, entah kenapa jantungnya berdebar. Ia merasa tidak siap bertemu banyak orang dalam situasi seperti ini. Annisa melirik kaca spion atas, dan mendapati cadar yang menutupi wajahnya. Tak ada bedanya, Nisa. Tak akan ada yang tahu kau punya hidung atau tidak, ia berusaha meyakinkan diri.

Tiga orang anak berkerudung berlari menghampirinya ketika turun dari mobil, mereka mencium tangannya dengan takzim.

“Ibu Nisa… Ibu Nisa…” panggil anak-anak itu. Anak-anak itu mengenali mobilnya, dan karenanya sudah siap menyapanya.

Mereka mengenakan jilbab putih sederhana dengan muka dibiarkan terbuka. Mereka tersenyum ketika tangan Annisa membelai kepala mereka satu persatu. Pandangan Annisa jatuh pada hidung-hidung mereka.

Annisa masuk ke ruang rapat guru dan ia sudah dinanti di sana. Rapat berjalan, dan untuk sesaat ia berhasil melupakan masalahnya sendiri. Ketika waktu sholat tiba, Annisa mulai kembali teringat masalahnya. Tapi, ia memiliki ruang khusus di sekolah yang sangat privat, dan ia bisa sholat dengan leluasa tanpa khawatir ada orang yang memergokinya tanpa penutup muka.

Separuh hari itu dilaluinya, dengan perasaan seperti orang yang bersembunyi, seperti orang yang takut. Kamu harus kuat Nisa, kamu harus kuat, ulangnya pada diri sendiri. Dan begitulah Annisa menjalani hari itu, mencoba sedapat mungkin fokus kepada orang orang yang dihadapinya, mencari solusi untuk hal-hal yang harus mereka pecahkan, dan sering ia juga yang mesti mengambil keputusan terakhir.

Sekolah ini didirikan oleh orang tuanya dulu, dan merupakan amanat baginya untuk tetap mempertahankan keberlangsungannya. Annisa bersyukur, Razi memberikannya ijin untuk tetap mengelola sekolah ini, apalagi karena Razi mendukung visi sekolah untuk menciptakan generasi yang soleh, yang mengutamakan pendidikan agama di atas segalanya.

Hari itu hanya harus ditutup dengan berbelanja di supermarket. Bukan hal yang susah, pikirnya. Aku sudah melalui hari sejauh ini.  Tapi hari ini bagaimanapun ia jadi lebih peka berada di antara banyak orang.  Annisa mendapati beberapa orang meliriknya, dengan tatapan ingin tahu. Itu pasti karena cadarnya.

Menggunakan niqab bukanlah sesuatu yang sedemikian normal di Jakarta, tapi dia juga bukan satu-satunya. Setelah tiga tahun ber-niqab atas permintaan suaminya, Nisa sudah terbiasa berhadapan dengan sorot mata ingin tahu yang mengarah kepadanya. Apalagi jika mereka berada di restoran, akan lebih banyak lagi orang yang mengawasinya karena ingin melihat bagaimana caranya ia makan. Sungguh mengganggu awalnya, tapi Nisa sudah terbiasa, dan tidak peduli.

Awalnya, Nisa memang sempat membantah ketika Razi memintanya mengenakan niqab. Meskipun sudah berjilbab sejak remaja,  mengenakan niqab adalah satu langkah yang berbeda. Tapi menurut Razi itulah jalan yang lebih benar berdasarkan tuntutan agama.

“Menjalankan perintah agama itu harus kaffah, Ummi,“ ujar Razi mesra dengan panggilan sayang padanya. “Apalagi Ummi itu perempuan cantik, biar pun berjilbab juga masih terlihat jelas kecantikannya. Sementara aku sering bertugas keluar kota, aku tidak rela istriku jadi pandangan lelaki lain,” ujar Razi lembut kepadanya sambil membelai rambutnya. Dan sikap itu selalu saja membuat Nisa meleleh. Razi tidak pernah memaksakan kehendak, tapi membujuk dan menyadarkannya tentang apa yang benar dan apa yang harus dilakukannya sebagai seorang istri yang solehah.

Akhirnya, meskipun separuh hati, ia menuruti permintaan suaminya untuk ber-niqab. Memang benar juga seperti yang dikatakan Razi, ia merasa semakin aman dan terlindung dari pandangan laki-laki asing.

Memakai cadar, kadang menyulitkan. Ya seperti saat makan di tempat umum itu. Atau karena cuaca di Jakarta yang panas dan lembab. Juga ketika bertemu teman di mal atau tempat umum lainnya. Annisa harus berteriak lebih keras ketika melihat dan berpapasan dengan teman lamanya, yang tentu saja tidak bisa mengenali karena mukanya tidak terlihat.

Kadang juga, bila malas ia memilih tidak menyapa saja walaupun berpapasan dengan teman lamanya. Sebenarnya tidak ada bedanya, toh mereka juga tidak akan tahu. Tapi tetap saja ada menyelinap perasaan bersalah di dalam hatinya, apalagi bila orang tersebut sebetulnya pernah jadi teman baiknya.

Seperti hari itu, ia melihat jelas Arifin, seorang lelaki yang, uh, pernah dekat dengannya. Hm. Dekat,  ah, kata itu kurang menggambarkan situasi mereka. Tepatnya, Arifin pernah melakukan proses ta’aruf atau perkenalan dengannya selama beberapa waktu, sebelum akhirnya ia memutuskan menjatuhkan pilihan pada Razi.

Arifin hanya berdiri beberapa meter di seberangnya, sedang berada di area buah-buahan. Annisa tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Lelaki itu masih seganteng yang pernah ia ingat. Tubuhnya kini lebih berisi, tidak sekurus saat masa kuliah dulu.

Menyapa, tidak. Menyapa, tidak. Annisa tiba-tiba berada di dalam sebuah dilema. Ia masih memandangi Arifin yang memilah dan memilih jeruk dengan tenang, tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya dengan dada bergemuruh.

Begitulah, sebagai seorang yang ber-niqab, sering kali Annisa mengalami bahwa keputusan menyambung tali silaturahim berada di tangannya. Ia yang bisa menentukan akankah ia menyingkap siapa dirinya atau tidak. Andai ia tak memakai niqab, dalam jarak sedekat ini kemungkinan besar Arifin sudah bisa mengenalinya dan akan menyapanya lebih dulu—sehingga Annisa tidak perlu mengorbankan gengsinya. Tapi tentu saat ini, bayangan tidak memakai niqab dan bertemu pria masa lalunya, juga bukan hal yang akan menguntungkan.

Tidak di saat ia kehilangan hidungnya.

Sekarang, atau tidak sama sekali. Annisa menguatkan hati untuk menyapa Arifin. Ia akan mengucapkan salam dan menyapa lelaki itu, yang pasti akan mengenali suaranya bagaimanapun juga. Dan meskipun sesaat, Annisa bisa bercakap-cakap lagi dengan dia, dan melihat bagaimana reaksi lelaki itu bertemu dengan dirinya.

“Mas, lama banget? Yuk, nanti filmnya keburu mulai…,” seorang perempuan menghampiri Arifin dan mengusap punggungnya, tepat saat Annisa hendak melangkah mendekat.

Perempuan itu, cantik. Tidak berjilbab, berpenampilan seperti perempuan profesional muda, dengan alis yang dilukis rapi dan lipstik pink terang. Annisa masih sempat melirik hidung mungil perempuan itu yang tampak serasi dengan mukanya yang bulat telur.

Dengan langkah gontai, Ia pun membalikkan badan dan berjalan menuju kasir. Istrinya? Pacarnya? Yang jelas dari bahasa tubuhnya mereka pasti dekat.  Pertanyaan yang muncul dengan deras di dalam kepalanya adalah, bagaimana mungkin Arifin bisa dekat atau berpasangan dengan perempuan yang bukan dari kelompok mereka? Dulu Arifin salah satu pentolan kelompok pengajian yang paling disegani, paling teruji ketekunan beribadah dan semangat membela agama. Mengapa perubahan terjadi begitu cepat? Apakah karena gagal menikah dengannya dulu?

Annisa pulang ke rumah, masih dengan perasaan galau. Ia merindukan Razi, tapi suaminya itu belum akan pulang malam ini. Ia harus tidur sendiri lagi, dan ia merasa begitu resah. Saat sholat ia menangis sendu, merasakan hampa.

Ia mengirimkan pesan singkat kepada suaminya.

Abi, Ummi rindu. Tidak sabar menunggu Abi pulang.

Abi, kalau Ummi sudah tidak cantik, Abi masih cinta Ummi? 

Pesannya tidak terbaca. Di lokasi bekerja suaminya, memang sering mengalami susah sinyal. Annisa hanya bisa menarik nafas dalam, dan mencoba tertidur. Di dalam mimpinya, ia seperti melihat seseorang sedang menggambar sketsa wajahnya, dengan rambut yang bergelombang tergerai. Rambut yang sengaja dibiarkannya panjang atas permintaan suaminya. Ia seperti berdiri, dari balik punggung si pelukis, mengamatinya yang sedang menyempurnakan lukisan wajahnya, dan sempat mengagumi kecantikannya sendiri pada lukisan itu. Lukisan yang hampir jadi seutuhnya.

Lalu Annisa terkejut, karena tiba-tiba sang pelukis memulas cat putih pada hidungnya, merusak lukisan wajahnya.

“Jangaaan, kenapa? Jangan!“ Ia merasakan tangannya mengguncang bahu si pelukis.

Namun pelukis itu bergeming. Malah ia terus menggerakkan kuasnya ke area mulutnya. Maka rusaklah lukisan wajahnya yang cantik tadi, meninggalkan sepasang mata indah. Pelukis itu meletakkan kuasnya tepat di atas mata itu. Seperti sedang menimbang-nimbang. Menunggu ketetapan hati.

“Jangan… jangan…,” Annisa kembali mengguncang tubuh pelukis itu. Saat itulah ia terbangun. Sesaat ia tidak menyadari, masih malamkah itu? Sudah masuk waktu fajar kah? Apakah ia melewatkan adzan subuh?

Annisa merasakan sisa air mata yang mengering di pipinya. Ia meraba-raba mukanya, dengan gerakan yang ragu-ragu dan cemas. Ia meraba tempat yang tadinya dalah hidungnya, dan ia tak bisa merasakan apa-apa. Jari jemarinya bergerak perlahan, hendak merasakan bibirnya.

Jantungnya seperti berhenti berdetak. Ia tidak bisa merasakan bibirnya lagi. Ia menggerakkan mulutnya dan merasakan hembusan nafasnya sendiri dari lubang itu. Tapi ia tidak bisa merasakan bibirnya. Annisa merasa seluruh tubuhnya lemas. Dengan sisa-sisa kekuatan, ia menyeret dirinya ke cermin.

Annisa melihat wajahnya, atau tepatnya sisa-sisa dari wajahnya. Lubang bekas hidung dan lubang mulut. Sepasang mata yang mengecil karena habis menangis, tertutup sisa kelopak. Hanya alis tipisnya yang masih tersisa di wajahnya. Tak ada seorangpun lagi yang akan mengenali wajah itu sebagai wajahnya. Tidak juga dirinya sendiri. Annisa  menangis sejadi-jadinya.

Namun ketika matahari sudah tinggi, Annisa sadar masih banyak tugas yang menunggunya di luar sana. Maka ia mengumpulkan kekuatan dirinya, mengenakan jilbabnya, dan mengenakan niqab-nya. Pergi keluar rumah, dan menjalankan rutinitasnya. Sebelum menjalankan mobilnya, ia mendapati pesan singkat pada telepon selulernya.

Abi cinta Ummi, bagaimanapun juga. Jaga diri ya Ummi. Sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang solehah. Dan istri solehah adalah istri yang menaati perkataan suaminya.

Annisa menghela nafas panjang. Ia hanya berharap dirinya tetap perhiasan terindah bagi suaminya. Meskipun ia sudah dan mungkin akan semakin, kehilangan wajahnya.  

Sumber: Feby Indirani: Bukan Perawan Maria; Paperback, Pabrikultur, 2017

© Feby Indirani